Doa Penuh Air Mata

Doa Penuh Air Mata
Alturistic

28/05/10

Karakteristik Konselor dalam Konseling Lintas Budaya

Karakteristik Konselor dalam Konseling Lintas Budaya

A. Konseling Lintas Budaya

Di pandang dari perspektif lintas budaya, situasi konseling adalah sebuah ‘perjumpaan kultural’ (cultural encounter) antara konselor dengan klien atau a cultural solution to personal problem solving. Dalam proses konseling terjadi proses belajar, tranferensi dan kounter-transferensi, dan saling menilai. Pada keduanya, juga terjadi saling menarik inferensi. Dari segi konselor, ketepatan inferensi yang kemudian mendasari tindakannya dalam konseling tergantung pada kemampuan pemahaman secara utuh terhadap klien. Dari segi klien, ketepatan inferensi merujuk pada pola-pola perilaku yang dimiliki sebelumnya. Masalah akan timbul manakala ada inkongruensi antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi referensi kedua belah pihak, dan sumber terjadinya distorsi yang sangat besar adalah ketidakpekaan konselor terhadap latar belakang budaya klien.

Kajian ini akan menjembantani permasalahan tersebut dengan memperhatikan aspek budaya dalam praktik konseling, yang pada gilirannya akan melahirkan teknik-teknik dan pendekatan konseling yang berwawasan lintas budaya (cross cultural counseling).

Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:

1. Adanya hubungan,

2. Adanya dua individu atau lebih,

3. Adanya proses,

4. Membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.

Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:

1. Merupakan produk budidaya manusia,

2. Menentukan ciri seseorang,

3. Manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.

Sehingga konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling yang terdiri dari dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai-nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Dari pengertian diatas maka konseling lintas budaya terjadi antara konselor dan klien mempunyai perbedaan dan perbedaan itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan sebagainya. Sehingga dalam konseling lintas budaya ini konselor mesti :

1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda

2. Sadar bahwa tidak ada yang netral secara politik dan moral

3. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup

Berdasarkan pengertian tentang konseling lintas budaya di atas, aspek-aspek yang harus ada dan diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:

1. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor

2. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien

3. Asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama konseling

4. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dalam konseling

B. Karakteristik Konselor yang Efektif dalam Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya

1. Konselor lintas Budaya sadar terhadapnilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi

terbaru tentang prilaku manusia

Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.

2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum

Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling, sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhdap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.

3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka mempunyai

perhatian terhadap lingkungannya

Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih apabila konselor melakukan praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis dan 5 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.

Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik, baik agama maupun budayanya. Dengan mengadakan perhatian atau observasi, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya rintangan selama proses konseling.

4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat memahami budaya dan nilai

nilai yang dimiliki konselor

Untuk hal ini ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kemauan konselor tidak boleh dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.

5. Konselor lintas agama dan budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan

pendekatan ekletik.

Pendekatan ekletik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya dan pandangan hidup. Untuk itu konselor harus memiliki wawasan keilmuan yang luas.

C. Dasar-Dasar Utama Kualitas Pribadi Seorang konselor

1. Congruence

Konselor harus genuine, integrated, dan whole person dimana ia berusaha menjadi dirinya yang utuh dalam setiap setting sosial artinya pada saat ia menjadi konselor ia akan mampu memanfaatkan bagian dari dirinya yang relevan dengan peranannya sebagai konselor.

2. Empati

Kemampuan konselor untuk merasakan apa yang klien rasakan bahkan konselor mampu membayangkan seandainya ia yang berada pada posisi klien mengakibatkan terciptanya hubungan sosioemosinal yang dalam dan itu membuat klien dapat bercerita dengan sukarela dan terbuka mengenai dirinya bahkan yang menjadi rahasinya.

3. Unconditional positive regard

Menerima keadaan klien secara utuh tanpa memberikan penilaian apapun terhadap keberadaan dan prilaku klien. Konselor berusaha berpikir positif memahami dunia klien apa adanya tanpa adanya kritikkan yang akan membuat klien membangun mekanisme pertahanan diri yang kuat, sehingga menciptakan rasa aman yang membuat klien bisa memahami masalahnya secara utuh.

Refrensi

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud.

Syamsu Yusuf, 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: Rosdakarya

Singgih Gunarsa, 2007. Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia.

Yusuf, Yusmar. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Boy Soedarmadji, Konseling lintas Budaya, www.boy_soedarmadji.wordPress.com, diakses 12 Februari 2009

Muatan Budaya dalam Konseling (Lanjutan)

Muatan Budaya dalam Konseling (Lanjutan)

A. Monokulturalisme

Monokulturalisme berasal dari kata; mono (satu/seragam?tunggal) dan cultural (budaya atau kebudayaan), dan isme (paham) yang secara etimologi berarti paham budaya tunggal sehingga pada satu wilayah geografis tertentu hanya ada satu budaya yang dianut. Hal ini juga bermaksud tidak mengakui adanya keragaman dan menginginkan keseragaman. Seorang dikatakan monokulturalisme dilihat dari sejauh mana individu tersebut memegang nilai dari salah satu variabel budaya.

Monokulturalisme merupakan sebuah idelogi atau konsep yang memiliki kehendak akan adanya penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam monokulturalisme, ditandai adanya proses asimilasi, yakni percampuran dua kebudayaan atau lebih untuk membentuk kebudayaan baru. Sebagai sebuah ideologi, monokulturalisme dibeberapa negara dijadikan landasan kebijakan dan atau strategi pemerintah menyangkut kebudayaan dan sistem negara.

Perkembangan dewasa ini, dimana adanya usaha untuk menciptakan budaya tunggal sebagai identitas budaya Indonesia yang sebagian besar dilakoni oleh media, khususnya televisi dengan setting Jakarta-isme adalah sebuah hal yang bertolak berlakang dengan semangat pluralisme. Kita banyak menemui misalnya di sinetron-sinetron dimana adanya proses monokulturalisme, bahwa yang gaul itu adalah yang “gue-elo” bahwa yang ndeso itu yang tidak mengikuti apa yang berkembang di Jakarta. Sentralisme semacam ini mau tidak mau adalah semata-mata hanyalah setting dari kapitalisme untuk mengarahkan agar masyarakat terpolakan pada sistem yang sudah dibangun oleh modal. Semakin homogen masyarakat, maka semakin mudah sebuah produk untuk dipasarkan dengan selera yang sama. Sebaliknya, semakin kompleks atau heterogen masyarakat, maka semakin sulit sebuah produk untuk menyentuh pasar secara holistik.

Dampak positif dari monokulturalisme ini membuat suatu masyarakat itu bisa bertahan dengan budaya sendiri dan pelestarian budaya tidak terganggu oleh budaya lain namun, dampak negatifnya membuat masyarakat seperti katak dalam tempurung yang membuat masyarakat terkurung dengan budayanya sendiri tanpa tahu budaya orang lain.

Dalam konseling monokulturalisme akan memunculkan sikap diskriminasi yaitu sikap membeda-bedakan antara satu budaya dengan budaya yang lain, sikap subjektif yaitu sikap memandang, menilai hanya dari sudut pandang sendiri atau kaca mata sendiri, dan klien juga bersikap adanya keengganan mengikuti konseling dengan konselor yang berbeda budaya.

B. Multikulturalisme

Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), dan isme (paham) sehingga secara etimologi berarti paham keberagaman budaya pada suatu wilayah geografis tertentu terdapat bermacam-macam budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme adalah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.

Salah satu dampak positif dari multikulturalisme adalah masyarakat mampu membuka diri untuk budaya lain sedangkan dampak negatifnya seperti sulitnya masyarakat bertahan dengan budaya sendiri dan dalam melestarikan budaya sering terkontaminasi dengan budaya lain.

Berikut adalah konsep budaya monokultural dan multicultural:

MONOKULTURAL

1. Kebudayaan dianggap mempunyai esensi yag statis, tak berubah, sacral

2. Kebudayaan dianggap mempunyai batas yang pasti dan jelas

3. Stereotif budaya

MULTIKULTURAL

1. Kebudayaan merupakan suatu proses menjadi yang tak pernah berhenti

2. Interaksi lintas budaya, percampuran, dan saling pengaruh terjadi di setiap fase pembentukan kebudayaan

3. Keterbukaan

Perbedaan di antara kedua paham tersebut juga terlihat dari perspektif budaya yang digunakan:

Terbuka

1. Identitas yang cair

2. Hibriditas

3. Keragaman

4. Toleransi

5. Negosiasi

6. Budaya untuk kemanusiaan

7. Keterkaitan

Tertutup

1. Esensialisme

2. Asli/asing

3. Keseragaman

4. Fanatisme kelompok

5. Kelah-menang

6. Manusia untuk tradisi/adat

7. Batas dan jarak

Etik dan Emik dalam Konseling

Pemahaman tentang Etik dan Emik

Etik mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).

Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.

Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.

Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat.

Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.

Contoh kasus:

Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan. Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.

Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.

Refrensi

Irawanto, Budi. 2007. Riset Etnografi. Slide Kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM.

Kuswarno, Engkus. 2007. Manajemen Komunikasi Pengemis. dalam Metode Penelitian Komunikasi. Ed. Deddy Mulyana dan Solatun. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sembiring, Sri Alem. 2002. Refleksi Metodologis: Perjalanan Penelitian Menghasilkan Etnografi. Terarsip dalam digital library Universitas Sumatera Utara.

See Neil Bissoondath, Selling Illusions: The Myth of Multiculturalism. Toronto: Penguin, 2002. ISBN 978-0-14-100676-5.

Yusuf, Yusmar. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya

Diskusi budaya ”Menguak Tabir Perbedaan Budaya”, Bandung, 26 April 09

http://gemasastrin.wordpress.com/2007/11/13

http://id.wikipedia.org/wiki

Manusia Dalam Konteks Budaya

Manusia Dalam Konteks Budaya

A. Persamaan dan Perbedaan Manusia dalam Budaya

Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sering dijumpai adanya persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan diri kita semua. Persamaan dan perbedaan tersebut bisa menyangkut masalah-masalah yang sangat pokok, maupun yang hanya sebagai pelengkap belaka. Berkaitan dengan persoalan ini, Allah Swt telah memberikan ajaran, pedoman dan tuntunan kepada manusia tentang bagaimana hendaknya kita, sebagai umat Islam, menyikapi semua persamaan dan perbedaan yang ada di antara kita. Dalam kaitannya ini, Allah Swt telah berfirman sebagai berikut :


يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai semua manusia, sesungguhya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah itu Maha berilmu lagi Maha Mengetahui”. (al-Hujurât: 13)

Ayat di atas mencoba mengenai asal-usul kita sebagai manusia. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa seluruh manusia berasal dari seorang laki-laki dan seorang permpuan. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa kita semua berasal dari bahan dan dasar yang sama. Petunjuk itu mengisyaratkan bahwa kita semua berasal dari benih yang sama, kita semua bermula dari bahan dasar yang serupa. Karena itu, tentulah di antara kita semua terdapat persamaan-persamaan yang memang mesti ada. Persamaan-persamaan itu bisa menyangkut hal yang berkaitan dengan wujud fisik atau jasmani, dan bisa juga yang berkaitan dengan ruhani. Yang berhubungan dengan fisik adalah kesamaan yang ada pada sosok jasmani, seperti bentuk tubuh dan kelengkapan anggota ataupun indera pada semua manusia. Sedangkan yang berhubungan dengan ruhani, seperti persamaan-persamaan dalam sifat, sikap, tindak-tanduk,, keiginan hidup, bertahan hidup, berkarya, dan memiliki makna dalam hidupnya dan lain sebagainya.

Mengenai kesamaan manusia inipun dinyatakan oleh asumsi kaum idealis dan empiris (Russell, 1948). Kaum idealis berpendapat bahwa alam semesta (termasuk manusia) mempunyai bentuk ideal yang permanen. Sedangkan kaum empiris mengambil kesimpulan bahwa hanya yang diamatilah yang berbeda. Pengamat (orang) pasti sama dalam mereka mengamati hal yang sama, bila terdapat situasi yang sama.

Namun, selain ituada juga pendapat yang menyatakan bahwa manusia juga dikatakan mahluk yang unik sehingga antara satu individu dengan individu yang lain tidak sama. Perbedaan itu dapat dilihat dari dua segi yaitu:

1. Perbedaan segi horizontal : perbedaan individu dalam aspek mental.

2. Perbedaan segi vertikal : perbedaan individu dalam aspek jasmaniah.

Perbedaan individual disebabkan oleh dua faktor yaitu :

1. Faktor keturunan (bawaan kelahiran).

2. Faktor pengaruh lingkungan.

Sehingga manusia berbeda dalam cara mengatur kehidupan, memahami makna tertentu dalam kaitannya dengan budaya, serta pola pikir dalam menyikapi kemajuan dan perkembangan budaya.

B. Perbedaan Budaya Antar Suku di Indonesia

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki beraneka ragam suku bangsa di dalamnya. Keaneragaman tersebut dibuktikan oleh banyak pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Begitu luasnya wilayah negara kita dan jumlah pulau yang lebih dari 17.500 buah. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Menggambarkan jumlah suku bangsa yang tersebar didalamnya. Dan setiap suku bangsa memiliki budaya sebagai hasil kreatifitas manusianya.

Bangsa Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Tentunya banyak sekali perbedaan yang ada. Ada yang berbeda warna kulit, bentuk fisik, dan budayanya. Keanekaragaman suku bangsa menjadikan beranekaragamnya budaya yang ada. Setiap suku bangsa memiliki budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Keragaman suku bangsa yang kita miliki merupakan kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya dan dapat memperkokoh persatuan bangsa. Hal ini merupakan kekuatan untuk membangun bangsa menjadi bangsa yang besar. Kita tidak boleh membeda-bedakan suku bangsa yang dapat mengakibatkan perselisihan dan kekacauan bangsa kita.

Bentuk keragaman budaya di Indonesia, di antaranya sebagai berikut:

1. Bahasa Daerah Setiap suku bangsa, memiliki bahasa sendiri. Contoh: bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Batak, bahasa Sunda, bahasa Minangkabau, bahasa Bali, dan bahasa Banjar.

2. Adat Istiadat Adat istiadat meliputi tata cara dalam upacara perkawinan, upacara keagamaan, kematian, kebiasaan, dan pakaian adat.

3. Kesenian Daerah, meliputi seni tari, rumah adat, lagu daerah, seni musik dan alat musik daerah, cerita rakyat, serta seni pertunjukan daerah.

4. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan meliputi sebagai berikut.

a. Sistem keturunan menurut garis ayah (patrilineal), di antaranya Batak, Bali, dan Papua.

b. Sistem keturunan menurut garis ibu (matrilineal), di antaranya suku Minangkabau.

c. Sistem keturunan menurut garis ayah dan ibu (bilateral).

Muatan Budaya dalam Konseling

A. Ekspresi Budaya

Ekspresi merupakan proses menyatakan maksud gagasan maupun perasaan sehingga ekspresi budaya merupakan sebuah ekspresi, sebuah proses penyampaian maksud gagasan ataupun perasaan yang dihasilkan dari manifestasi budaya yang telah dikembangkan secara turun temurun baik berbentuk maupun tidak. Ekspresi budaya tradisional mencakup musik tradisional, narasi dan literatur tradisional, seni tradisional, kerajinan tradisional, simbol/nama/istilah tradisional, pertunjukkan tradisional, seni arsitektur tradisional, dan lain-lain. Contoh ekspresi budaya tradisional dikelompokkan menjadi ekspresi verbal seperti berpantun, berpuisi, kata/tanda/simbol. Ekspresi musik seperti instrumen musik, pelantunan lagu. Ekspresi gerakan seperti tari-tarian, bentuk permainan, upacara ritual sesaji. ekspresi bentuk nyata seperti produksi seni tradisional (menggambar, memahat patung, kerajinan kayu, kerajinan logam, perhiasan, karpet tradisional, alat-alat musik tradisional, bangunan arsitektur tradisional).

B. Bahasa Non Verbal

Pada umumnya orang tidak menyadari pentingnya bahasa non verbal namun, berbagai pengalaman orang-orang sukses dan kajian ilmiah telah menjelaskan bahwa bahasa tubuh penting untuk dipelajari. Menurut pakar komunikasi Allan dan Barbara Pease dalam “The Definitive of Body Languanger” mengungkapkan bahwa seseorang yang melipat tangan ketika mendengar orang lain berbicara sebenarnya sedang mengirim pesan bahwa dia tertarik untuk mendengarnya. Sehingga bahasa non verbal berperan sebagai penyempurna proses komunikasi verbal, membantu memahami lawan bicara secara mendalam saat terjadinya “Face to face communication”, dan dapat juga sebagai pengganti pesan verbal.

Bahasa non verbal merupakan salah satu bentuk media komunikasi yang sama pentingnya dan banyak digunakan dalam berbagai situasi terutama berkaitan dengan sistem nilai, gaya dan bahasa tubuh, perasaan, dan emosi. Bahasa non verbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi non verbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara. Bahasa non verbal dalam masyarakat yang masih sederhana dan tradisional masih dianggap efektif untuk menyampaikan pesan. Misalnya, di beberapa desa terpencil masih ditemukan kelompok yang masih sulit berbahasa Indonesia dan buta huruf. Keterampilan berbahasa non verbal tidak hanya digunakan untuk kepentingan itu saja tetapi, dalam pendekatan modern bahasa non-verbal dikaji dan dikembangkan sebagai bagian dari profesionalisme, gaya hidup dan model komunikasi yang dapat dipelajari terutama untuk pengembangan diri (self empowering) memahami perilaku orang lain (consumen behaviour), menganalisis perilaku yang ditunjukkan sebagai respon emosi dan perasaan personal. Keterampilan berbahasa non-verbal menjadi bagian penting dari kemampuan pendamping untuk mengenal sikap, perilaku, tindakan, dan harapan yang ditunjukkan melalui gerak tubuh yang terkadang sulit untuk dipahami.

Ada beberapa jenis bahasa nonverbal seperti ekspresi wajah, wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi karena ekspresi wajah cerminan suasana emosi seseorang.

Kontak mata merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Hal tersebut dapat juga disebut dengan okulestik yaitu studi komunikasi yang disampaikan melalui pandangan mata. Dengan mengadakan kontak mata selama berinterakasi atau tanya jawab berarti orang tersebut terlibat dan menghargai lawan bicaranya dengan kemauan untuk memperhatikan bukan sekedar mendengarkan. Melalui kontakmata juga memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengobservasi yang lainnya.

Sentuhan seperti bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain adalah bentuk komunikasi personal mengingat sentuhan lebih bersifat spontan dari pada komunikasi verbal. Beberapa pesan seperti perhatian yang sungguh-sungguh, dukungan emosional, kasih sayang atau simpati dapat dilakukan dengan sentuhan.

Postur tubuh dan gaya berjalan. Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan merefleksikan emosi, konsep diri, dan tingkat kesehatannya.

Suara rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu ungkapan perasaan dan pikiran seseorang yang dapat dijadikan komunikasi. Bila dikombinasikan dengan semua bentuk komunikasi non verbal lainnya sampai desis atau suara dapat menjadi pesan yang sangat jelas.

Gerak isyarat, adalah yang dapat mempertegas pembicaraan. Menggunakan isyarat sebagai bagian total dari komunikasi seperti mengetuk-ngetukan kaki atau mengerakkan tangan selama berbicara menunjukkan seseorang dalam keadaan stress bingung atau sebagai upaya untuk menghilangkan stres.

Masing-masing bentuk bahasa ini menyampaikan pesan tentang tujuan atau perasaan tertentu.

Budaya asal seseorang amat menentukan bagaimana orang tersebut berkomunikasi secara nonverbal. Perbedaan ini dapat meliputi perbedaan budaya Barat-Timur, budaya konteks tinggi dan konteks rendah, bahasa, dsb. Contohnya, orang dari budaya Oriental cenderung menghindari kontak mata langsung, sedangkan orang Timur Tengah, India dan Amerika Serikat biasanya menganggap kontak mata penting untuk menunjukkan keterpercayaan, dan orang yang menghindari kontak mata dianggap tidak dapat dipercaya.

Refrensi

Mulyana, Dedy dan Rahmat, Jalaluddin. 2005. Komunikasi Antar Budaya. Bandung. PT. Rosdakarya

http://jatiseputro.blogspot.com/2009/09/jati-seputro_20.html

http://prasetijo.wordpress.com/2009/07/24/keragaman-budaya-indonesia/

http://gemasastrin.wordpress.com/2007/11/13

http://id.wikipedia.org/wiki

"http://www.crayonpedia.org/mw/KEANEKA_RAGAMAN_SUKU_BANGSA_DAN_BUDAYA_DI_INDONESIA_5.1_SITI_S"

http://www.conflictanddhttp://www.conflictanddevelopment.org/data/PCF%20material/CRT/peace/Bab%2014%20-%20Komunikasi%20Non-Verbal_BB_pub_1.pdfevelopment. org/data/PCF%20material/CRT/peace

Pengertian Konseling Lintas Budaya

Konseling Lintas Budaya

A. Pengertian

Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan-perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai-nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.

Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:

1. Adanya hubungan,

2. Adanya dua individu atau lebih,

3. Adanya proses,

4. Membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.

Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:

1. Merupakan produk budidaya manusia,

2. Menentukan ciri seseorang,

3. Manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.

Sehingga konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling yang terdiri dari dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai-nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.

B. Tujuan

Agar Konselor dapat menyadari keberadaan budaya klien dan sensitif terhadap kebudayaan klien, sehingga dapat menghargai perbedaan dan hal itu dapat membuat konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan. Dan juga supaya konselor dapat memahami bagaimana ras, kebudayaan, etnik, dan sebagainya yang mungkin mempengaruhi struktur kepribadian, pilihan karir, manifestasi gangguan psikologis, perilaku mencari bantuan, dan kecocokan dan ketidakcocokan dari pendekatan konseling.

C. Fungsi

Bagi seorang konselor, konseling lintas budaya ini berfungsi memahami dampak yang mungkin terjadi dari perbedaan budaya ini. Pengetahuan mereka tentang perbedaan komunikasi, bagaimana gaya komunikasi ini mungkin akan menimbulkan perselisihan atau membantu perkembangan dalam proses konseling pada klien, dan bagaimana cara mencegah dampak yang mungkin terjadi itu, sehingga konselor dapat mengentaskan permasalahan yang sedang dialami klien akan tetapi tidak hanya berusaha membantu klien keluar dari masalahnya saja konselor pun berusaha memelihara dan mengembangkan potensi-potensi dari dalam diri klien khususnya kesadarannya terhadap keragaman budaya sehingga akan dapat lebih menghargai agama, keyakinan dan nilai yang dimiliki oleh orang lain, termasuk atribut dan hal-hal yangbersifat tabu, karena hal tersebut mempengaruhi pandangan seseorang.

Selain itu, konseling lintas budaya berfungsi membantu seorang konselor dalam melakukan pendekatan sesuai dengan keragaman budaya tersebut dalam melaksanakan konseling.

Dimensi-Dimensi Sosial Budaya

A. Pengertian

Dimensi sosial budaya merupakan sesuatu yang melekat pada kebudayaan yang diadopsi secara turun temurun oleh penerusnya dan hal ini sangat berkaitan erat dengan nilai adat istiadat.
Pada dasarnya dimensi kebudayaan sangat sulit diubah, hal ini membutuhkan proses yang berkepanjangan, karena berkaitan dengan pola pikir masyarakat dan kebiasaan yang mereka anggap benar.
Adapun nilai yang dipahami dari dimensi tersebut antara lain :

1. Nilai kebersamaan sosial yaitu masyarakat yang secara bersama-sama bekerja bakti membersihkan makam dan membuat umbul-umbul.

2. Nilai religi yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dapat terjalin dengan baik.

3. Nilai keamanan yaitu masyarakat bisa terbebas dari rasa cemas, takut ataupun khawatir sehingga akan merasa nyaman.

4. Nilai ekonomi yaitu denan tetap melaksanakan upacara masyarakat akan lebih mudah dan biasa memenuhi kebutuhan hidupnya.

B. Proses Pembudayaan

Pembudayaan yaitu proses pemberian (transfer) nilai-nilai budaya dan agama kepada seseorang, sehingga yang bersangkutan memiliki prilaku yang sopan, berbudaya, bermoral dan beretika.
Proses pembudayaan dan pengetahuan berlangsung dalam keluarga dan lingkungan sekitar yang bersangkutan.

Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetathuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi (enculturation) sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi (aculturation).

Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau budaya suatu wilajah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi berikutnya.
Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui pendidikan seseorang yang tidak tahu, diberi tahu dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya, dan kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut; misalnya seseorang yang baru pindah ke tempat baru, maka ia akan mempelajari bahasa, budaya, dan kebiasaan dari masyarakat ditempat baru tersebut, lalu ia akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat itu.

C. Proses Sosialisasi

Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai a process by which a child learns to be participant member of society proses dimana seorang anak belajar menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978:116). Definisi ini disajikannya dalam suatau pokok bahasan berjudul society in man; dari sini tergambar pandangannya bahwa melalui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia. http://abrahamzakky.blogspot.com/2009/02/proses-sosialisasi-dan-interaksi-sosial.html. Sehingga dapat kita katakan sosialisasi adalah proses seorang belajar menjadi anggota masyarakat yang berpartisifasi secara aktif.

Proses sosialisasi terjadi empat tahap yaitu :

a. Persiapan
Pada tahap ini anak mualai belajar mengambil peranan orang-orang disekeliling terutama orang yang paling dekat (keluarga)

b. Meniru
Pada tahap ini anak tidak hanya mengetahui peranan yang harus dijalankan tetapi harus mengetahui peranan yang dijalankan orang lain.

c. Bertindak
Pada tahap ini anak dianggap mampu mengambil peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat luas.

d. Menerima norma
Pada tahan ini anak telah siap menjalankan peranan orang lain, ia mulai memiliki kesadaran akan tanggung jawab.

Sosialisasi disini juga merupakan proses yang membantu individu agar belajar menyesuaikan diri bagaimana cara hidup, cara berfikir dengan kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya.

D. Proses Personalisasi

Setiap pribadi adalah unik, maka tiap-tiap individu itu memiliki perbedaan satu sama lain maka ada kalanya individu ini ingin perbedaan yang ia miliki itu diakui oleh sekelilingnya dan hal itu membuatnya memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dari yang lain.

Refrensi

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud.

http://karyaboy.blogspot.com/2008/02/konseling-lintas-budaya.html

http://hudaita.blogspot.com/2009/09/proses-pembudayaan-melalui-pendidikan.html

http://cybercounselingstain.bigforumpro.com/konseling-lintas-budaya-f34/dimensi-dimensi-sosial-budaya-t56.htm

http://abrahamzakky.blogspot.com/2009/02/proses-sosialisasi-dan-interaksi-sosial.html